Anggraeni Antemas mengabarkan: “Pada 52 tahun yang lalu, tepatnya dalam bulan Januari 1949, dalam kapasitas sebagai wartawan dan kolomnis Harian “WARTA BERITA” Medan, beliau pernah menulis tentang “seorang pejuang wanita suku Dayak di udik Barito yang sakti mandraguna. Konon, dia mengagumkan bukan saja karena keberaniannya menghadapi serdadu Belanda pada awal abad ke-19 tetapi juga wajah dan sosok puteri Dayak tersebut adalah cantik namun beringas”.
Kata Anggraeni, “Saya bersama Arsyad Manan, wartawan mingguan “WAKTU” memang telah bersepakat untuk menulis tentang kepatriotan pejuang wanita Dayak tersebut. Saya menulis untuk WARTA BERITA dan Arsyad Manan untuk WAKTU. Sumber utama kami adalah dua orang tokoh Dayak Kuala Kapuas yaitu Willem Anton Samat dan Adonis Samat (ayah dan anak), yang sama-sama senasib dengan kami sebagai orang politik “Republikein” yang tertawan masuk “Interneerings camp” Belanda pada clash II tahun 1948 di Banjarmasin. WA Samat dan Adonis Samat bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut keberaniannya luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang mendampingi Gusti Zaleha dalam Perang Barito. “Amuk Barito itu terjadi pada tahun 1900-1901, dimana suku-suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Kenyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam atau pun Kaharingan bersatu bahu membahu menghadapi serangan Belanda. Nama-nama pahlawan Banjar seperti Antasari, Muhammad Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu bersanding bahu membahu dengan (para pahlawan Dayak seperti) Temanggung Surapati, Antung, Kuing, Temanggung Mangkusari dan lain-lain yang merupakan kesatuan kekuatan dalam perjuangan”.
Dalam masa perjuangannya melawan kaum kolonialis Belanda, Panglima Burung yang sangat cantik memiliki beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada yang menyebutnya Ilum atau Itak, namun ada pula nama popular lain yang disandarkan kepadanya yaitu Bulan Jihad. Kabarnya, nama Bulan Jihad dipakai Panglima Burung sebagai nama Islamnya dan dia memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha kawan akrab seperjuangannya. Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri Gusti Muhammad Seman, putera Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar hingga memasuki kawasan Barito Utara dan Selatan, dengan semboyannya: “Haram Manyarah, Waja Sampai ka Puting”.
Dan karena ceritera kepahlawanan ini tetap diragukan orang maka Anggraeni Antemas dalam kesempatan berjumpa dengan Bapak Tjilik Riwut (Gubernur pertama Kalteng) di Istana Merdeka Jakarta tahun 1950 menanyakan kebenaran kisah ini. Tjilik Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak itu tetapi menurut beliau Bulan Jihad (bukan pejuang wanita asli Dayak Kalteng) tetapi berasal dari Suku Dayak Kenyah (Kaltim). Yang pasti, “nama Bulan Jihad sangat terkenal di antero Barito Hulu dan Barito Selatan”, imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu kebal tahan senjata, bisa menghilang dan melibas lawan hanya dengan selendang saja. Dia selalu berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang puteri Banjar”. Dengan demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat dan Adonis Samat (1948) sejalan dengan ceritera Pak Tjilik Riwut (1950).
Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun 1905, lalu pada awal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung untuk menyerah kepada Belanda, lantas apa keputusan Bulan Jihad dan sisa prajurit lainnya? Ternyata Bulan Jihad tetap haram menyerah dan tetap bertekad meneruskan perjuangan sekaligus meneruskan pengembaraannya. Maka terjadilah perpisahan yang sangat memilukan.
Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh dan selanjutnya dibawa oleh kaum penjajah ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai Salmah. Sejak perpisahan itu, tidak banyak orang yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad dan kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad datang melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga saat itulah dia baru mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu mengetahui sahabat karibnya Ratu Zaleha telah meninggal dunia (24 September 1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan hari itu pula dia kembali mengembara ke hutan rimba untuk selama-lamanya. Inilah sekilas kisah seorang muslimah bernama Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi perjuangan Gusti Puteri Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang melewati masa juang pahlawan anti kolonialis lainnya di tanah Dayak ini.
Dari bukti-bukti sejarah yang ditunjukkan para pendahulu kita dengan gamblang menyatakan fakta bahwa kebulatan tekad persatuan, tekad perjuangan mengusir penjajahan dari negeri ini, tertuang sangat jelas di dalam Perang Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang Leman, Gusti Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan Jihad, Panglima Batur, Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya, adalah gambaran bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan. Kata Kiyai Juhran Erpan Ali kemudian, “Masa itu telah ada kesepakatan tekad bahwa suku Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang sesamanya sampai kapan pun juga”.
Sumber : http://www.disbudpar.baritoselatankab.go.id/tag/panglima-burung/.
Muara Teweh yang berada di wilayah Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah secara geografis berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Suku Kenyah sendiri banyak terdapat di Kutai Barat dan Mahakam Hulu, Kalimantan Timur. Dahulu suku Kenyah di Kutai Barat menyebut Muara Teweh dengan sebutan Long Tiwei.
Dari artikel diatas menunjukkan bahwasanya suku Kenyah telah banyak melahirkan pejuang-pejuang pemberani dan tangguh dimasanya dan tidak hanya kaum prianya namun kaum perempuannya pun ikut berjuang menentang penjajah kolonial Belanda.
photo : ilustrasi