Suku Kenyah khususnya dan rumpun Apau Kayan (Orang Ulu) pada umumnya sejak dahulu hingga sekarang dikenal sebagai pakar pembuat kerajinan tangan manik,ukiran, patung dan juga alat musik yang mengandung nilai seni yang sangat tinggi.
Tidaklah berlebihan ketika seorang Tom Harisson etnolog, arkeolog dan antropolog berkebangsaan inggris mengatakan seni kerajinan suku Kenyah merupakan seni dengan kualitas terbaik di Kalimantan (Borneo).
Kerajinan tangan suku Kenyah yang telah dikenal luas dan dijadikan cindera mata adalah patung, ukiran, topi pelindung kepala, manik, gelang, kalung, anting, tas, keranjang, tikar, pakaian adat tradisional. Semua kerajinan tangan mereka mempunyai makna simbolis serta filosofi tersendiri. Sumber bahan bakunya berasal dari kayu hutan, batu manik, tumbuhan rotan serta bambu di hutan.
Begitu juga pewarnaan dalam seni kriya Kenyah mempunyai makna simbolis dan filosopis.
Warna | Keterangan |
---|---|
Merah | Melambangkan kekuatan dan keberanian. Untuk mendapatkan warna merah mereka menggunakan biji2an dari tumbuhan yang disebut geligan atau juga darah dari hewan |
Kuning | Warna yang sangat sakral dalam kehidupan suku Kenyah. Warna ini untuk memanggil sang bali (roh) |
Putih | Melambangkan kesucian. Mereka menggunakan bahan kapur untuk mendapatkan warna ini |
Hitam | Melambangkan keperkasaan. Untuk mendapatkan warna ini mereka menggunakan campuran arang dan minyak babi |
Hijau | Merupakan warna dari tumbuh-tumbuhan yang melambangkan kesuburan dan kemakmuran |
Biru | Simbol dari warna langit yang memiliki makna kebebasan |
Berikut beberapa kerajinan tangan suku Kenyah :
Jenis | Keterangan |
---|---|
Tapung, Sa'ong/Saung, Sepungen | Penutup kepala (topi pria dan wanita) |
Pat, Taing | Tikar anyaman |
Uleng, Gelam, Tebilang, Beteng,Selayah | Perlengkapan perhiasan/aksesoris untuk pakaian adat kaum wanita |
Baing ilang & Kelembit | Mandau & Perisai |
Sapai, Ta'a, Abet, Besunung, Tabit | Pakaian adat pria dan wanita |
Ba'/Bening | Tas keranjang gendong bayi |
Ingen | Tas keranjang untuk menggendong padi segi empat terbuat dari bambu dianyam rapat |
Kiba | Tas keranjang dari rotan berlobang besar berbentuk segi empat |
Belanyat Beta | Tas keranjang untuk membawa bekal ketika masuk ke hutan atau ladang |
Belanyat ino' & Belanyat Kalung | Tas manik dan anyaman yang bentuknya bulat |
Suku Kenyah merupakan masyarakat yang mempunyai tradisi kasta (Stratifikasi sosial) didalam komunitas mereka. Strata melambangkan status sosial dari seseorang atau keluarga, tradisi ini ditunjukkan dalam bentuk budaya kerajinan tangan yang mereka hasilkan dan gunakan.
Salah satu contohnya adalah Ba' atau Bening (Tas keranjang untuk menggendong bayi). Tas untuk menggendong bayi ini hanya terdapat di rumpun Apau Kayan dan khususnya suku Kenyah. Ba'/Bening yang dihiasi manik, motif dan simbol mereka menyebutnya Ba' Aban/Bening Aban. Hal ini juga untuk menunjukkan strata sosial sang bayi dan ibu serta jenis kelamin bayi.
Ba' atau Bening mempunyai arti yang sama (tas keranjang untuk menggendong bayi)..ini disebabkan suku Kenyah mempunyai 3 dialek. Admin akan selalu beri tanda slash (garis miring) jika didalam kata terdiri dari beberapa dialek Kenyah
Jika bayi dan ibunya itu dari golongan Paren (Bangsawan) maka simbol manik dan ukiran yang ditonjolkan pada Ba'/Bening haruslah motif Kelunan (figur manusia penuh) yang mempunyai anggota tubuh yang lengkap seperti kepala,tangan, kaki, dan juga simbol lainnya seperti motif : Temengang, Lengunan, Kule Lenjau, Aso, Kabuk, ila.
Selain motif tersebut ditambahkan juga pada Ba'/Bening berupa Sip (simbol berupa gigi/taring macan harimau dan beruang yang menunjukkan strata sosial pemiliknya). Sedangkan golongan Panyen (Rakyat Biasa) tidak dapat menggunakan motif simbol tersebut karena menurut kepercayaan mereka jika Panyen menggunakan hiasan golongan Paren maka akan terjadi bala dan mengundang Parip (tulah).
Kemudian bagi golongan Paren, Ba'/Bening selain menggunakan Sip (gigi/taring), juga ditambahkan Limpai (berupa manik-manik yang menjuntai), Sulau (uang logam), Wing (lonceng kecil yang mengeluarkan suara bunyi-bunyian sehingga dapat menjauhkan dan mengusir kuasa roh jahat yang ingin mengganggu bayi).
Apabila suami istri sama-sama dari golongan Paren maka Ba'/Bening dipasang 8, 10 hingga 12 sip (taring macan). Namun apabila Paren pria menikah dengan wanita bukan golongan Paren maka jumlah sip (taring) adalah 2, 4 dan maksimal hanya 6 saja. Hal ini juga berlaku bagi wanita Paren yang menikah dengan pria yang bukan golongan Paren.
Kemudian bagi golongan Paren, Ba'/Bening selain menggunakan Sip (gigi/taring), juga ditambahkan Limpai (berupa manik-manik yang menjuntai), Sulau (uang logam), Wing (lonceng kecil yang mengeluarkan suara bunyi-bunyian sehingga dapat menjauhkan dan mengusir kuasa roh jahat yang ingin mengganggu bayi).
Apabila suami istri sama-sama dari golongan Paren maka Ba'/Bening dipasang 8, 10 hingga 12 sip (taring macan). Namun apabila Paren pria menikah dengan wanita bukan golongan Paren maka jumlah sip (taring) adalah 2, 4 dan maksimal hanya 6 saja. Hal ini juga berlaku bagi wanita Paren yang menikah dengan pria yang bukan golongan Paren.
Golongan Panyen menggunakan motif Kalung Nyain (motif polos) dan bunga polos, serta hanya boleh menggunakan simbol sip (gigi/taring) dari Babui (Babi).
Namun di jaman sekarang pemakaian benda-benda yang awalnya hanya boleh digunakan golongan Paren sudah "mulai ditinggalkan sebagian suku Kenyah" (mereka yang tinggal di perkotaan). Sehingga golongan Panyen pun banyak yang terlihat menggunakannya bahkan diperdagangkan untuk dijadikan cinderamata yang menghasilkan keuntungan ekonomi.
Jaman lampau seseorang yang melanggar larangan tersebut akan dikenakan sangsi adat, namun sekarang ini aturan tersebut telah mulai ditinggalkan, meskipun masih ada beberapa lepo'dan uma' suku Kenyah yang tinggal di pedalaman terutama para orang tua yang masih setia dengan tradisi larangan tersebut.
Namun di jaman sekarang pemakaian benda-benda yang awalnya hanya boleh digunakan golongan Paren sudah "mulai ditinggalkan sebagian suku Kenyah" (mereka yang tinggal di perkotaan). Sehingga golongan Panyen pun banyak yang terlihat menggunakannya bahkan diperdagangkan untuk dijadikan cinderamata yang menghasilkan keuntungan ekonomi.
Jaman lampau seseorang yang melanggar larangan tersebut akan dikenakan sangsi adat, namun sekarang ini aturan tersebut telah mulai ditinggalkan, meskipun masih ada beberapa lepo'dan uma' suku Kenyah yang tinggal di pedalaman terutama para orang tua yang masih setia dengan tradisi larangan tersebut.
photo 3 & 4 :
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_Kenyah_draagt_een_kind_in_een_draagmand_op_zijn_rug_Zuidoost-Borneo_TMnr_10002841.jpg
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Kenja_vrouw_met_kind_in_de_draagbak_Zuid_en_Oost_Afd._Borneo_TMnr_10013747.jpg